Toba Caldera Resort, Sibisa, 22386

Jl. Kapt. Pattimura No.125 Medan 20153 Sumatera Utara

info@bpodt.id

Toba : (0625) 41500 Medan: (061)450-2908

Mini Geopark – The Kaldera Toba Nomadic Escape

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata yang mendukung Toba Caldera UNESCO Global Geopark, membuat Mini Geopark untuk memperkenalkan beberapa unsur dalam Geopark Kaldera Toba sebagai edukasi tentang keberagaman warisan geologi di kawasan Danau Toba.

Dunia budaya Batak kaya akan figur simbolik (sering diukir atau ditenun) dan filosofi yang membimbing kehidupan sosial. Ukiran megalitik, motif pelindung, mengaitkan kegiatan memasak ritual dengan ikatan komunal, patung magis-religius yang melambangkan perlindungan leluhur, dan tradisi pertunjukan. Simbolisme spasial mengenai nilai dan tatanan kehidupan, etika kekerabatan dasar, dan tujuan hidup sebagai landasan keharmonisan sosial.

Singa Singa

Singa singa, atau dikenal juga sebagai gorga ulu singa, adalah ornamen ukiran khas yang menghiasi bagian atas depan rumah adat Batak Toba. Motif ini menggambarkan makhluk mitologis yang merupakan gabungan dari unsur manusia, kerbau, dan reptil, dengan ciri khas wajah memanjang, mata melotot, lidah menjulur, dan kepala dihiasi kain tiga bolit. Dalam kepercayaan Batak, singa singa berfungsi sebagai simbol pelindung yang menjaga rumah dan penghuninya dari roh jahat serta bencana alam.

Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “singa”. Namun, dalam konteks Batak, singa singa tidak merujuk pada hewan tersebut, melainkan pada entitas spiritual yang memiliki kekuatan magis. Motif ini juga mencerminkan nilai-nilai seperti kewibawaan, keadilan, dan kekuatan moral yang diharapkan dimiliki oleh kepala keluarga atau pemimpin komunitas.

Dalam arsitektur rumah adat Batak Toba, gorga singa singa biasanya dipahat atau dilukis dengan tiga warna utama: merah, hitam, dan putih. Ketiga warna ini, dikenal sebagai sitiga bolit, melambangkan tiga alam dalam kosmologi Batak:​

Putih: Banua Ginjang (alam atas)

Merah: Banua Tonga (alam tengah)

Hitam: Banua Toru (alam bawah)

Kehadiran gorga singa singa tidak hanya memperindah tampilan rumah adat, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan spiritualitas masyarakat Batak Toba. Sebagai bagian integral dari warisan budaya, motif ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan dunia spiritual.

Losung

Losung, atau lesung, merupakan alat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Batak Toba untuk menumbuk hasil pertanian seperti padi dan kemiri. Biasanya, losung terbuat dari batu besar, ada juga terbuat dari kayu, yang dilubangi di bagian tengahnya sehingga membentuk cekungan untuk menampung bahan yang akan ditumbuk. Keberadaan losung batu sering kali menjadi indikator adanya pemukiman kuno di suatu wilayah, karena setiap rumah atau kampung tradisional umumnya memiliki losung sebagai bagian dari peralatan rumah tangga.

Selain fungsi praktisnya, losung batu juga memiliki nilai simbolis dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Dalam konteks pengobatan tradisional, losung batu digunakan untuk menghaluskan bahan-bahan obat, seperti kemiri, yang diyakini memiliki kekuatan magis jika ditumbuk menggunakan losung peninggalan nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa losung tidak hanya berperan dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam aspek spiritual dan kesehatan masyarakat.

Secara keseluruhan, losung batu mencerminkan pandangan hidup masyarakat Batak Toba yang menghargai warisan leluhur, keseimbangan antara fungsi praktis dan simbolis, serta keterkaitan antara manusia, alam, dan dunia spiritual.

Pangulu Balang

Pangulu Balang, atau sering disebut Pangulubalang, adalah patung antropomorfik yang berfungsi sebagai pelindung kampung dalam tradisi masyarakat Batak, khususnya Batak Toba, Simalungun, dan Pakpak. Patung ini biasanya terbuat dari batu atau kayu dan ditempatkan di pintu masuk desa (huta) atau di lokasi strategis lainnya untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kepercayaan tradisional Batak, Pangulubalang diyakini memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi kampung dari serangan musuh, roh jahat, penyakit, dan bencana alam. Patung ini dianggap sebagai panglima spiritual yang mampu mengusir ancaman dan menjaga harmoni dalam komunitas.

Pembuatan Pangulubalang tidak dilakukan sembarangan. Menurut tradisi, patung ini “diisi” dengan kekuatan spiritual melalui ritual khusus yang melibatkan penggunaan “pupuk”, yaitu substansi magis yang dibuat oleh datu (dukun) dari bahan-bahan tertentu. Pupuk ini kemudian dimasukkan ke dalam patung untuk menghidupkannya secara spiritual.

Selain sebagai pelindung, Pangulubalang juga berperan dalam menyelesaikan konflik antar marga atau desa. Roh yang bersemayam dalam patung ini dapat “diperintahkan” oleh datu untuk mempengaruhi musuh, misalnya dengan menutup mata dan telinga mereka agar tidak dapat berperang, sehingga konflik dapat dihindari atau diselesaikan.

Gundala Gundala

Gundala Gundala, juga dikenal sebagai Tembut Tembut, adalah tarian topeng tradisional masyarakat Suku Batak Karo di Sumatera Utara. Tarian ini awalnya merupakan ritual sakral yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan pada musim kemarau panjang, dikenal dalam bahasa Karo sebagai “ndilo wari udan“.

Pertunjukan ini bersifat dramatik dan melibatkan lima penari yang masing-masing memerankan tokoh: Raja, Kembrahen (Permaisuri), Putri Raja, Menantu, dan Burung Gurda Gurdi. Setiap penari mengenakan topeng kayu yang unik dan kostum berwarna putih, meskipun dalam perkembangan terkini, warna kostum dapat bervariasi untuk membedakan karakter.

Legenda yang melatarbelakangi tarian ini bercerita tentang seekor burung raksasa bernama Gurda Gurdi yang jatuh cinta kepada Putri Raja. Karena cintanya tidak terbalas, Gurda Gurdi mencoba menculik sang putri, yang kemudian memicu pertempuran antara burung tersebut dan keluarga kerajaan. Kemenangan keluarga kerajaan atas Gurda Gurdi dirayakan melalui arak-arakan yang kemudian menjadi dasar dari pertunjukan tari ini.

Musik pengiring tarian ini terdiri dari instrumen tradisional Karo seperti gendang, gong, sarune (serunai), dan keteng keteng. Gerakan tarian mengikuti irama musik yang lembut dan mendayu-dayu, menciptakan suasana yang khidmat dan magis.

Saat ini, Tari Gundala Gundala masih dipertunjukkan di beberapa desa di Tanah Karo, seperti Desa Seberaya, terutama dalam acara budaya, festival, dan penyambutan tamu kehormatan. Meskipun fungsi ritualnya telah berkurang, tarian ini tetap menjadi simbol penting dalam pelestarian budaya dan identitas Suku Karo.

Mejan

Mejan adalah patung atau arca batu yang memiliki peran penting dalam budaya masyarakat Batak, terutama di kalangan Suku Batak Pakpak. Mejan biasanya berbentuk antropomorfik dan ditempatkan di area pemakaman sebagai penanda makam tokoh-tokoh penting, seperti raja, pemimpin adat, atau pahlawan lokal. Keberadaan mejan tidak hanya berfungsi sebagai penanda makam, tetapi juga sebagai simbol status sosial dan kebesaran seseorang dalam komunitas.

Pembuatan mejan memerlukan keahlian khusus dan biaya yang besar, sehingga hanya individu atau keluarga dengan status tinggi yang mampu memilikinya. Mejan juga dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi kampung dari roh jahat dan bencana. Beberapa mejan ditempatkan di pintu gerbang desa sebagai deklarasi teritorial dan simbol kekuatan marga yang menghuni wilayah tersebut.

Dalam konteks spiritual, mejan diyakini mengandung unsur mistik yang mampu menghalau niat jahat dan menjaga keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual. Namun, seiring berjalannya waktu, kesakralan mejan mulai memudar, dan banyak yang tidak lagi memahami makna mendalam dari artefak ini. Pelestarian mejan menjadi penting untuk menjaga warisan budaya dan sejarah masyarakat Batak.

Sangkalon

Sangkalon adalah patung batu antropomorfik yang memiliki makna mendalam dalam budaya masyarakat Batak Mandailing. Patung ini melambangkan prinsip keadilan yang teguh dan tak pandang bulu dalam sistem hukum adat Mandailing.

Salah satu ungkapan yang terkait dengan Sangkalon adalah “si pangan anak, si pangan boru,” yang secara harfiah berarti “pemakan anak laki-laki, pemakan anak perempuan.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam menegakkan keadilan, hukum adat harus dijalankan tanpa memihak, bahkan jika itu berarti menghukum anggota keluarga sendiri. Hal ini menekankan pentingnya integritas dan keadilan yang tidak memandang hubungan kekerabatan dalam masyarakat Mandailing.

Patung Sangkalon biasanya ditempatkan di lokasi-lokasi penting seperti pusat desa atau dekat rumah adat sebagai pengingat akan nilai-nilai keadilan dan integritas yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Keberadaan patung ini juga mencerminkan sistem hukum adat yang kuat dan peran pentingnya dalam menjaga tatanan sosial masyarakat Mandailing.

Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai yang diwakili oleh Sangkalon tetap relevan dan menjadi bagian integral dari identitas budaya Mandailing. Patung ini tidak hanya merupakan artefak sejarah, tetapi juga simbol hidup dari prinsip-prinsip keadilan yang terus dijaga dan dihormati hingga kini.

Harbangan

Harbangan adalah gerbang utama yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar dari sebuah huta (kampung) dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba. Fungsinya tidak hanya sebagai akses fisik, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan, keamanan, dan identitas komunitas.​

Secara fisik, harbangan biasanya dibangun dari batu-batu besar yang disusun sedemikian rupa, sering kali dikelilingi oleh pohon-pohon besar seperti hariara (beringin) atau bulu (bambu), yang diyakini memiliki kekuatan spiritual dan berfungsi sebagai pelindung kampung.

Dalam konteks sosial dan spiritual, harbangan melambangkan batas antara dunia luar dan komunitas huta. Ia berfungsi sebagai titik kontrol untuk siapa saja yang masuk atau keluar, termasuk manusia dan hewan ternak. Sebagai simbol kedaulatan, harbangan menunjukkan bahwa huta memiliki hukum dan tatanan sosial sendiri yang harus dihormati oleh siapa pun yang memasukinya. ​

Dalam praktik adat, harbangan juga memiliki peran penting. Misalnya, dalam upacara adat atau penyambutan tamu penting, prosesi sering kali dimulai dari harbangan sebagai bentuk penghormatan dan simbolisasi masuknya tamu ke dalam tatanan sosial huta.

Pitu Batu Martindi

Pitu Batu Martindi adalah ungkapan metaforis dalam budaya Batak yang menggambarkan prinsip tanggung jawab dan keteguhan dalam menghadapi beban kehidupan. Secara harfiah, frasa ini berarti “tujuh batu bertindih,” yang melambangkan beban berat yang ditopang oleh satu batu di dasar. Ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan individu yang memikul tanggung jawab besar dalam keluarga atau komunitas, seperti anak sulung yang menggantikan peran orang tua yang telah tiada.​

Konsep ini diabadikan dalam lagu Batak berjudul “Satokkin di Nipikki” atau “Pitu Batu Martindi,” yang dipopulerkan oleh Torgabe Trio dan diciptakan oleh Jasman Butar-Butar. Lagu ini menceritakan kerinduan seorang anak kepada ayahnya yang telah meninggal dan perasaan tanggung jawab yang harus dipikul sebagai anak sulung. Liriknya menggambarkan bagaimana satu batu di dasar harus menahan beban dari enam batu lainnya di atasnya, mencerminkan beban emosional dan tanggung jawab yang besar.

Ungkapan “Pitu Batu Martindi” tidak hanya menggambarkan beban fisik, tetapi juga beban moral dan emosional yang harus ditanggung oleh individu dalam masyarakat Batak. Hal ini mencerminkan nilai-nilai budaya Batak yang menekankan pentingnya tanggung jawab, keteguhan, dan pengorbanan demi kesejahteraan keluarga dan komunitas.

Dengan demikian, “Pitu Batu Martindi” menjadi simbol penting dalam budaya Batak yang mengajarkan tentang keteguhan hati dan tanggung jawab dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Dalihan Natolu

Dalihan Na Tolu, yang secara harfiah berarti “tungku berkaki tiga,” adalah falsafah hidup dan sistem kekerabatan yang mendasari tatanan sosial masyarakat Batak Toba. Konsep ini menggambarkan keseimbangan dan keharmonisan dalam hubungan sosial, mirip dengan tiga batu penyangga tungku yang harus seimbang agar tungku dapat berfungsi dengan baik.

Tiga pilar utama dalam Dalihan Na Tolu adalah:​

  1. Hula-hula: Pihak pemberi istri (keluarga dari pihak istri). Mereka dianggap sebagai pihak yang harus dihormati dan dimuliakan.​
  2. Dongan Tubu: Saudara semarga atau satu marga. Mereka adalah rekan sejajar yang harus diperlakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan untuk menjaga keharmonisan.​
  3. Boru: Pihak penerima istri (keluarga dari pihak suami). Mereka adalah pihak yang harus disayangi dan dibimbing.

Prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam tiga nilai utama:​

Somba Marhula-hula: Menghormati pihak hula-hula.​

Manat Mardongan Tubu: Berhati-hati dan bijaksana dalam berinteraksi dengan dongan tubu.​

Elek Marboru: Menyayangi dan membimbing pihak boru.

Dalihan Na Tolu tidak hanya mengatur hubungan kekerabatan, tetapi juga menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk upacara adat, penyelesaian konflik, dan pengambilan keputusan dalam komunitas. Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan, saling menghormati, dan tanggung jawab sosial dalam menjaga keharmonisan masyarakat. ​

Meskipun Dalihan Na Tolu merupakan sistem patriarkal yang menempatkan laki-laki dalam posisi sentral, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan dalam konteks modern sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang harmonis dan saling menghormati.

Pagar Batu / Parik Ni Huta

Parik Ni Huta, atau yang dikenal juga sebagai Pagar Batu, adalah struktur pertahanan tradisional yang mengelilingi sebuah huta (kampung) dalam masyarakat Batak Toba. Fungsinya tidak hanya sebagai pelindung fisik dari ancaman luar, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan, identitas, dan tatanan sosial komunitas.

Secara fisik, parik ni huta dibangun dari susunan batu atau tanah yang diperkuat dengan tanaman berduri seperti bambu atau pohon beringin. Struktur ini dirancang untuk menghalau serangan musuh, hewan liar, serta pengaruh buruk dari luar, termasuk gangguan mistis. Pintu masuk ke dalam huta biasanya sempit, hanya cukup untuk satu orang, yang memudahkan pengawasan terhadap siapa saja yang keluar masuk kampung.

Selain fungsi pertahanan, parik ni huta juga memiliki makna simbolis. Ia menandakan batas wilayah adat dan kedaulatan sebuah marga atau kelompok tertentu. Keberadaannya mencerminkan struktur sosial yang tertata, di mana setiap anggota komunitas memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjaga keamanan dan keharmonisan huta.​

Di beberapa daerah, seperti Huta Sosor Silintong di Tapanuli Utara, pagar batu ini masih dapat ditemukan dengan tinggi mencapai dua meter dan panjang yang mengelilingi seluruh kampung. Struktur ini menjadi saksi bisu sejarah permukiman masyarakat Batak Toba dan menunjukkan keahlian arsitektur serta nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh leluhur.

Desa Naualu

Desa Naualu adalah istilah dalam bahasa Batak Toba yang merujuk pada delapan penjuru mata angin: utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, dan barat laut. Dalam kosmologi Batak, konsep ini memiliki makna mendalam yang melampaui orientasi geografis semata.​

Motif Gorga Desa Naualu sering ditemukan dalam ukiran tradisional rumah adat Batak Toba. Motif ini tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai simbol spiritual yang mencerminkan keterhubungan antara manusia, alam, dan kekuatan supranatural. Setiap arah mata angin dalam motif ini melambangkan aspek kehidupan tertentu dan digunakan sebagai panduan dalam berbagai aktivitas masyarakat Batak, seperti menentukan waktu yang tepat untuk menanam padi, menangkap ikan, mengadakan pesta, serta dalam pelaksanaan ritual dan upacara adat.

Dalam konteks spiritual, Desa Naualu juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Delapan penjuru mata angin melambangkan bahwa manusia harus menjaga hubungan yang seimbang dengan lingkungan sekitar dan sesama, serta menghormati kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, Desa Naualu bukan hanya representasi geografis, tetapi juga simbol filosofi hidup masyarakat Batak Toba yang menekankan keseimbangan, keharmonisan, dan keterhubungan antara manusia, alam, dan dunia spiritual.​

Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon

Dalam budaya Batak Toba, terdapat tiga nilai utama yang menjadi landasan dan tujuan hidup masyarakat, dikenal sebagai 3H: Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Ketiga nilai ini saling berkaitan dan membentuk kerangka filosofis yang mendasari berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga relasi sosial dan adat.​

1. Hamoraon (Kekayaan)

Hamoraon merujuk pada kekayaan materi dan kemakmuran. Dalam konteks budaya Batak Toba, kekayaan bukan hanya sekadar akumulasi harta, tetapi juga simbol keberhasilan dan kemampuan seseorang dalam memenuhi tanggung jawab sosial dan adat. Kekayaan memungkinkan seseorang untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan adat, seperti pesta pernikahan atau upacara kematian, yang memerlukan kontribusi materi yang signifikan. Oleh karena itu, masyarakat Batak Toba dikenal sebagai pekerja keras yang gigih dalam mencari nafkah, baik di kampung halaman maupun di perantauan.

2. Hagabeon (Keturunan)

Hagabeon berarti memiliki keturunan, khususnya anak laki-laki, yang dianggap penting dalam sistem kekerabatan patrilineal Batak Toba. Kehadiran anak laki-laki memastikan keberlanjutan marga dan warisan budaya keluarga. Selain itu, memiliki banyak anak dianggap sebagai sumber kebanggaan dan kekuatan sosial, karena anak-anak dapat membantu dalam pekerjaan dan mendukung orang tua di masa tua. Dalam masyarakat Batak Toba, status sosial seseorang seringkali dikaitkan dengan jumlah dan keberhasilan keturunannya.

3. Hasangapon (Kehormatan)

Hasangapon mengacu pada kehormatan, martabat, dan pengaruh seseorang dalam masyarakat. Kehormatan diperoleh melalui perilaku yang baik, kepatuhan terhadap adat, kontribusi dalam kegiatan sosial, dan pencapaian pribadi, seperti pendidikan tinggi atau posisi penting dalam masyarakat. Hasangapon juga berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjadi panutan dan dihormati oleh komunitasnya. Dalam budaya Batak Toba, kehormatan adalah hasil dari kombinasi antara kekayaan, keturunan, dan integritas pribadi.

Ketiga nilai ini, Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon, saling melengkapi dan membentuk tujuan hidup ideal bagi masyarakat Batak Toba. Menjadi motivasi utama dalam berbagai aspek kehidupan, mendorong individu untuk bekerja keras, membangun keluarga yang kuat, dan menjaga kehormatan diri serta komunitas.

Tarombo

Tarombo adalah istilah dalam budaya Batak Toba yang merujuk pada silsilah atau pohon keluarga yang menggambarkan garis keturunan seseorang berdasarkan marga. Sistem ini mengikuti prinsip patrilineal, di mana garis keturunan ditelusuri melalui pihak ayah. Tarombo tidak hanya mencatat nama-nama leluhur, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk memahami struktur sosial, hak dan kewajiban adat, serta menjaga kemurnian garis keturunan.

Dalam masyarakat Batak Toba, mengetahui tarombo sangat penting karena:​

  1. Menentukan Hubungan Kekerabatan: Tarombo membantu individu memahami hubungan kekerabatan dengan orang lain, yang berpengaruh pada penggunaan sapaan (“partuturan” dalam bahasa Batak Toba) yang tepat dalam interaksi sosial.​
  2. Menghindari Perkawinan Satu Marga: Dalam adat Batak Toba, menikah dengan seseorang dari marga yang sama dianggap tabu. Tarombo digunakan untuk memastikan bahwa pasangan tidak berasal dari garis keturunan yang sama.
  3. Menjaga Warisan Budaya dan Identitas: Dengan mengetahui tarombo, individu dapat memahami asal-usulnya, memperkuat identitas budaya, dan menjaga kesinambungan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari-hari.

Secara tradisional, tarombo disusun dan dijaga oleh para tetua adat atau keluarga, dan sering kali diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Namun, dalam perkembangan modern, banyak keluarga Batak Toba yang mulai mendokumentasikan tarombo mereka secara tertulis atau digital untuk memastikan keberlanjutan informasi ini.​

Dengan demikian, Tarombo bukan sekadar catatan silsilah, tetapi merupakan fondasi penting dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Batak Toba, yang membantu menjaga keteraturan sosial, identitas, dan kelangsungan nilai-nilai adat.

Letusan Gunung Toba

Gunung Toba, yang kini membentuk Danau Toba di Sumatra Utara (koordinat pusat kaldera 2.68° LU, 98.88° BT), mencatat empat letusan kaldera besar selama Kuarter, yaitu Haranggoal Dacite Tuff (~1,200 ka), Oldest Toba Tuff (~840 ka), Middle Toba Tuff (~501 ka), dan Youngest Toba Tuff (~73,700 BP); tidak ada catatan letusan Holosen menurut Global Volcanism Program.

Letusan Pertama Gunung Toba dikenal sebagai Haranggoal (Red: Haranggaol) Dacite Tuff (HDT) yang terjadi pada sekitar 1,200 ± 160 ribu tahun lalu (± 0,16 Ma), berlokasi di Haranggaol, dinding utara kompleks kaldera (sekitar 2.68° LU, 98.88° BT). Letusan ini menyebar dalam bentuk aliran welded tuff di sisi utara kaldera purba, yang membentuk kaldera awal sebelum letusan OTT.

Letusan Kedua Gunung Toba dikenal sebagai Oldest Toba Tuff (OTT) yang terjadi pada sekitar 840 ± 30 ribu tahun lalu, berlokasi di Porsea Caldera, selatan (sekitar 2.57° LU, 98.93° BT). Menyebar meliputi blok Uluan (sekarang Uluan Peninsula), bagian barat dinding kaldera, dan sisi utara & selatan Danau Toba. Wilayah terpapar yakni: uluan Peninsula, Uluan block, dinding barat & utara kaldera, tepi selatan Danau Toba.

Letusan Ketiga Gunung Toba dikenal sebagai Middle Toba Tuff (MTT) yang terjadi pada sekitar 501 ± 5 ribu tahun lalu, berlokasi di utara kaldera purba (± 2.70° LU, 98.85° BT) dan menyebar ke dinding utara kaldera. Wilayah terpapar yakni: dinding utara dan area sekitar Pusukbukit, tempat Sipisopiso waterfall terbentuk di tepi deposit MTT.

Letusan Keempat Gunung Toba dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT) yang terjadi pada sekitar 75 ± 0.9 ribu tahun lalu, berlokasi di dua ventilasi utama di ujung LU dan BT Danau Toba (sekitar 2.65° LU, 98.85° BT dan 2.47° LU, 99.02° BT). Wilayah terpapar yakni: seluruh Sumatra Utara, Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) hingga deposit abu setebal > 15 cm.

Horas!

Mejuah-juah!

Njuah-njuah!

Sumber:

 459 total views

BPODT
BPODT

Leave a Replay

Recent Posts

Follow Us